Kiamat Telah Tiba (91): Amadeus Krauss

Senin, 5 Desember 2022 19:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku mengetuk pintu bangunan 25 Rue de Colbert. Mireille berhenti sejenak sebelum menaiki tiga anak tangga batu yang menuju pintu masuk itu untuk menikmati pemandangan Sungai Seine melintas menuju Notre Dame. Pintu terbuka.

23 Juli

 

Aku mengetuk pintu bangunan 25 Rue de Colbert.

Mireille berhenti sejenak sebelum menaiki tiga anak tangga batu yang menuju pintu masuk itu untuk menikmati pemandangan Sungai Seine melintas menuju Notre Dame.

Pintu terbuka.

“Kami datang untuk menemui Herr Krauss,” kataku kepada lelaki tua yang membukakan pintu.

"Saya Amadeus Krauss," katanya dengan aksen Jerman yang kental. “Anda pasti Jules Moreau dan wanita itu pasti Mireille Deschamp. Selamat datang.”

Kami mengikuti Amadeus ke selasar sempit dan sampai ke sebuah ruangan besar.

Ruangan itu berisi beberapa kursi berlengan, sebuah meja besar dan sebuah televisi. Kemiripannya dengan ruang keluarga berakhir dengan barang-barang itu. Isi sisanya memberi kesan bahwa kami baru saja masuk ke toko barang antik. Hampir tidak ada ruang di permukaan mana pun yang tidak mengandung artefak, dan hampir tidak ada ruang di dinding tempat gambar atau lukisan tidak digantung.

"Kamu seorang kolektor," kata Mireille, melihat ke sekeliling ruangan.

"Saya tertarik pada seni sejak kecil," jawab Amadeus. "Anda ingin minum apa?"

Tak lama kemudian kami duduk di kursi berlengan sambil minum teh Earl Grey. Amadeus menceritakan lebih lanjut tentang kecintaannya pada seni. “Ayah saya adalah seorang pedagang seni di Munich sebelum Perang Dunia Kedua,” jelasnya. “Dia adalah seorang pakar seni yang terhormat. Direkrut sebagai perwira SS untuk membuat katalog dan relokasi karya seni yang diambil oleh Jerman dari negara Eropa yang diduduki. Dia, ibu saya, dan saya hidup selama perang di Kastil Neuschwanstein, Schwangau, dekat Füssen di barat daya Bavaria.”

'Sejumlah besar karya seni yang dicuri Nazi dibawa ke sana, bukan?” tanya Mireille.

“Ya,” jawab Amadeus, “dan foto-foto dikirim ke ayah saya dari hampir semua bagian yang disimpan di tempat lain sehingga dia dan timnya dapat membuat katalognya. Anda harus mengerti,” lanjut Wolfgang dengan nada meminta maaf, “bahwa saya masih kecil saat itu. Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya tidak menyadari bahwa itu salah. Saya percaya bahwa Führer berhak atas itu semua dan bahwa saya sangat beruntung bisa melihat seni terbesar Eropa, dengan ayah saya mengajarkan semuanya kepada saya.”

“Kami kira Anda bekerja dengan sekutu setelah perang sebagai penerjemah saat mereka menemukan benda-benda seni yang dicuri dan mencoba mengembalikannya.”

"Ya," kata Amadeus. “Ketika saya memahami apa yang telah dilakukan ayah saya dan Nazi atas nama Jerman, saya ingin mencoba memperbaiki, setidaknya beberapa kesalahan.”

"Yang membuatmu bekerja untuk Inggris dan MI6," kataku.

"Saat itu saya sebagai penasihat seni, bila diperlukan," jawab Amadeus dengan rendah hati.”'Saya tidak terlalu terlibat dalam apa yang Anda sebut aktivitas konspirasi atau spionase."

'Itulah sebabnya kami mengirimi Anda foto artefak yang kami sebut 'Kunci',' kata Mireille.

“Itu sangat menarik,” jawab Amadeus, “dan sangat beruntung karena foto itu datangnya kepada saya.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena barang itu tidak tercatat dalam katalog mana pun yang saya tahu,” jawab Amadeus. “Namun, saya telah melihatnya sebelumnya. Saya berusia delapan puluh tujuh tahun, jadi saya mungkin satu-satunya yang masih hidup yang mengetahuinya.”

“Kapan Anda pertama kali melihat Kunci itu?” tanyaku.

“Jerman tidak hanya mencari seni dan artefak di Eropa,” jelas Amadeus. “Juga, mereka tidak hanya mencdari barang-barang tersebut karena alasan budaya. Ada minat yang signifikan dalam okultisme dan semua hal terkait dalam eselon yang lebih tinggi dari Reich Ketiga. 'Ada laporan dari Ethiopia bahwa Tabut Perjanjian yang legendaris telah ditemukan di Kapel Tablet, bersebelahan dengan Gereja St. Mary of Zion di Aksum. Hitler mengirim tim untuk mengambilnya untuk Reich.”

“Apakah kamu tahu apa yang terjadi?” tanya Mireille.

“Hanya satu orang dari tim itu yang kembali hidup-hidup,” jawab Amadeus. "Saya ingat mendengarkan di luar pintu kantor ayah saya di Kastil Neuschwanstein ketika satu-satunya yang selamat itu menceritakan kisahnya kepada ayah saya."

“Apa yang dia katakan?” tanyaku.

"Dia mengatakan bahwa Jerman telah menjadikan orang Etiopia lokal sebagai tahanan dan memaksa mereka untuk memberikan akses ke Tabut. Tabut telah dibuka, dan di dalamnya hanya ada satu artefak."

“Kuncinya,” Mireille menduga.

“Kunci yang asli,” Amadeus mengoreksi. Dia mengambil ponselnya dan mengambil gambar Kunci yang baru saja dikirimkan kepadanya. “Ketika mereka membuka Tabut di Ethiopia, mereka mengambil fotonya. Elemen batu bagian atas dengan ukiran attanin ini,” dia menunjuk ke kadal di foto itu, “sangat mirip dengan bagian atas artefak yang difoto di Mesir pada tahun 1942.”

Dia mengambil map dari meja di sampingnya dan mengeluarkan sebuah foto hitam putih. Dia memegang kedua gambar itu berdampingan sehingga Mireille dan aku bisa membandingkannya. “Sejauh yang bisa saya katakan,” Amadeus menyimpulkan, “mereka adalah bagian yang sama.”

 

BERSAMBUNG

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Anak-anak Malam Minggu

Sabtu, 2 September 2023 17:05 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua